Suatu hari, Plato bertanya pada
gurunya, "Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?. Gurunya
menjawab, "Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan
tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu
menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah
menemukan cinta".
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa
lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun. Gurunya bertanya,
"Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?". Sebenarnya aku telah
menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih
menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat
kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwasanya
ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak
kuambil sebatangpun pada akhirnya". Gurunya kemudian menjawab "Ya
itulah cinta".
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi
pada gurunya, "Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?".
Gurunya pun menjawab "Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa
boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja.
Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu
telah menemukan apa itu perkawinan".
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa
lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang
segar / subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja. Gurunya
bertanya, "Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?". Plato pun
menjawab, "sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah
hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi
dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat,
jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau
menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya". Gurunya pun kemudian
menjawab, "Dan ya itulah perkawinan".
Semua
dimulai dari impianku. Aku ingin menjadi astronot. Aku ingin terbang ke luar
angkasa. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang tepat. Aku tidak memiliki
gelar. Dan aku bukan seorang pilot. Namun, sesuatu pun terjadilah.
Gedung
Putih mengumumkan mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat
ulang-alik Challanger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan
aku seorang guru. Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington.
Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo
NASA. Doaku terkabulkan. Aku lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi
padaku.
Selama
beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA
mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa
lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku
menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy
Space Center .
Dari
43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100
orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi ,
latihan ketangkasan , percobaan mabuk udara. Siapakah di antara kami yang bisa
melewati ujian akhir ini ?
Tuhan,
biarlah diriku yang terpilih, begitu aku berdoa. Lalu tibalah berita yang
menghancurkan itu. NASA memilih orang lain yaitu Christina McAufliffe. Aku
kalah. Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku
lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku. Aku mempertanyakan semuanya.
Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku?
Bagian
diriku yang mana yang kurang?Mengapa aku diperlakukan kejam ?
Aku
berpaling pada ayahku. Katanya: “Semua terjadi karena suatu alasan.”
Selasa,
28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran
Challanger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang
impianku untuk terakhir kali. Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar
berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tujuh puluh tiga detik kemudian,
Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat
Challanger meledak, dan menewaskan semua penumpang.
Aku
teringat kata-kata ayahku: “Semua terjadi karena suatu alasan.” Aku tidak
terpilih dalam penerbangan itu, walaupun aku sangat menginginkannya karena
Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memiliki misi
lain dalam hidup. Aku tidak kalah; aku seorang pemenang….
Aku
menang karena aku telah kalah. Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur
pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan.
Tuhan
mengabulkan doa kita dengan 3 cara:
1.Apabila Tuhan mengatakan YA. Maka kita
akan mendapatkan apa yang kita minta.
2.Apabila Tuhan mengatakan TIDAK. Maka
mungkin kita akan mendapatkan yang lain yang lebih sesuai untuk kita.
3.Apabila
Tuhan mengatakan TUNGGU. Maka mungkin kita akan mendapatkan yang terbaik sesuai
dengan kehendakNYA.
Oleh
: Saiful Amiq (Ketum HMI Kom. Syari’ah 2010-2011)
Manusia merupakan puncak dari penciptaan Tuhan dan mahluk-Nya yang paling
sempurna. Untuk itu manusia mengemban amanah sebagai khalifah dimuka bumi untuk
mengelolanya. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala aktifitas yang ia
lakukan dimyuka bumi.
Secara asasi manusia merupakan mahluk merdeka. Merdeka dalam artian ia
bebas melakukan pilihan-pilihan terhadap segala hal yang kemudian akan ia
pertanggungjawabkan. Karena indifidu adalah penanggungjawab mutlak atas
perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi adalah haknya yang asasi. Adalah suatu
hal yang aneh ketika manusia diharuskan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan
yang dilakukannya atas dasar paksaan, bukan karena kehendak bebasnya.
Dalam Islam (Rukun Iman) mengenal adanya konsep Qadha dan Qadar (Takdir
Ilahi). Seringkali konsep ini dipahami bahwa segala hal yang berkaitan dengan
manusia adalah hak perogratif Tuhan dan telah ditentukan sebelumnya, termasuk
didalamnya segala perbuatan manusia, rizki, jodoh, bahkan permasalahan apakah
ia penghuni surga atau neraka.
Jika demikian maka kemerdekaan manusia telah dinafikan, maka untuk apa lagi
manusia harus berikhtiar. Dan pantaskah mahluk yang tidak memiliki kemerdekaan
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dilakukan atas dasar
”keterpaksaan”..?? lalu dimana letak keadilan Tuhan..?
Kata Qadha dan Qadar secara lughawi memiliki beberapa pengertian,
diantaranya ; Kata Qadha dapat bermakna ”Hukum/ Keputusan” (Q.S An-Nisaa
: 65), Qadha dapat bermakna ”Kehendak” (Q.S Ali Imron : 47). Kata Qadar
bermakna ”Ukuran” (Q.S Al-Hijr : 21), Qadar dapat dipahami sebagai
ukuran sesuatu/ menjadikan sesuatu pada ukuran tertentu/ menciptakan sesuatu
dengan ukurannya yang ditentukan.
Maka yang dimaksud dengan Qadar (Takdir) Ilahi adalah bahwa Allah telah
menciptakan segala sesuatu serta telah menentukan/ menetapkan kadar dan
ukurannya masing-masing dari segi kualitas, kuantitas, ruang dan waktu. Dan hal
tersebut dapat terwujud dalam rangkaian sebab-sebab/ syarat. Sedangkan Qadha
Ilahi adalah sampainya sesuatu kepada kepastian akan wujudnya setelah
terpenuhinya sebab-sebab/ syarat sesuatu tersebut. Berdasarkan pengertian ini
maka tahapan Qadar adalah lebih awal daripada tahapan Qadha, dan Qadha ini adalah
akibat dari adanya qadar, maka Qadha akan mengalami perbedaan hasil ppada suatu
peristiwa yang sama apabila terdapat perbedaan pada proses pemenuhan terhadap Qadar...
Untuk lebih memudahkan dalam memahami, berikut analoginya... :
Air akan membeku apabila didinginkan pada suhu 0o C. Maka untuk
menjadikan air tersebut beku (Qadha), maka harus didinginkan pada
suhu 0o C (Qadar/ pemenuhan sebab), dan ketika suhu tersebut
tidak tercapai maka air tidak akan membeku (Qadha).
Untuk itu sebagai mahluk yang merdeka, manusia bebas menentukan takdir
pribadinya melalui jalan berikhtiar melakukan pemenuhan rangkaian sebab-sebab/
syarat terhadap sesuatu yang dikehendakinya. Dan hasil dari Ikhtiar inilah yang
kemudian di sebut sebagai Takdir.
Sekalipun kebebasan merupakan esensi dari Manusia, namun bukan berarti ia
merdeka atas segala tindakannya. Kebebasan manusia tetap harus tunduk kepada
hukum-hukum unifersal Tuhan. Dan hukum-hukum ini tentunya memiliki konsekuensi
logis terhadap pelakunya.
Amal perbuatan manusia yang baik ketika didunia akan membawanya menuju
surga. Amal perbuatan manusia yang buruk ketika didunia akan membawanya menuju
neraka. Kerja keras dan sungguh-sungguh akan membawa manusia kepada
keberhasilan, dan sebaliknya.
Setiap kegagalan yang dialami manusia, bukanlah berarti bahwa Tuhan telah
mentakdirkan ia untuk gagal, namun kurang sempurnanya ikhtiar yang ia
lakukanlah yang membawanya kepada kegagalan. Karena Tuhan tidak memutuskan
takdir manusia berdasarkan kehendak mutlanya, namun Tuhan memutuskan takdir
manusia berdasarkan sejauhmana manusia melakukan Ikhtiar untuk Takdir yang
diinginkannya.
”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum hingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”(Q.S Ar Rad : 11)
Avatar adalah seseorang yang telah lama
menghilang dan sangat diharapkan kedatangannya oleh masyarakat dalam legenda
cina,mirip dengan kisah Mahdi yang
dinantikan oleh manusia tapi tulisan ini tidak akan menyamakan atau membanding
bandingkan keduanya sebab Avatar
hanyalah legenda yang belum jelas nashnya selain sebuah cerita disalah satu
stasiun TV swasta, namun ada beberapa pelajaran menarik yang dapat di urai
dalam perjalanan cerita Avatar tersebut.
Pertama, Avatar yang bernama Aang
sebagai sosok yang dirindukan ternyata belum menguasai empat elemen ( air, api,
udara, dan bumi ) sebagai senjata untuk menyelamatkan dunia, lalu apa yang di
lakukannya? sang Avatar mengembara untuk mencari seorang Guru yang mampu
mengajarinya “pengendalian” keempat elemen tersebut, tidak perduli utara
selatan barat maupun timur jika ada berita sang pengendali tinggal disana maka
ia pun terbang dengan bison kesayangannya untuk belajar, legenda ini mirip
dengan Imam Ahmad bin Hambal yang selalu mencari Perawi Hadis sampai ke orang
pertama untuk meyakinkan tentang keshohihan hadis yang beliau dengar. Apa hikmah
dibalik ini semua ternyata sang legenda yang diramalkan mampu menyelamatkan
dunia saja masih mau belajar dan tanpa berputus asa mencari guru bagaimana
mungkin kita yang bukan apa-apa tidak mau belajar bahkan kesulitan mencari
seorang gurupun tidak ditemui untuk saat ini, guru formal misalnya sudah ada
didalam kelas tapi kita malah sibuk mencari alasan untuk tidak masuk kelas atau
kampus bahkan dengan congkaknya mengusir sang guru dengan alas an kurang
berbobot atau tidak berkualitas padahal sang guru telah mengalami perjalanan
pencarian ilmu lebih banyak daripada dia tapi keegoisan diri serta kesombongan
hati telah menutup realitas bahwa dia pun tidak bias apa- apa selain sibuk
mengkritik.
Kedua, Keempat Elemen yang
ingin di pelajari oleh Avatar ternyata merupakan Refleksi Sifat Manusia, jika Avatar
ingin menguasainya dan berharap mampu menjadi pengendali maka kita pun harus
demikian, saatnya kita menjadi pengendali Air yang melambangkan sifat
ketenangan, kejujuran, saat tidak mampu dikendalikan maka Air bisa
menghancurkan dan menenggelamkan apa saja yang dilaluinya, pengendali Api melambangkan
pengendalian terhadap amarah sehingga kita dituntut untuk sabar, tegas dan
berwibawa namun seperti Air, Apipun jika tidak di kendalikan dapat menghadirkan
bencana kebakaran serta kerusakan lainnya. Pengendalian Angin menghadirkan
kesejukkan dan ketawadhuan namun ketika tidak di kendalikan pun dapat
berimplikasi negative, begitu juga dengan Bumi yang melambangkan kemakmuran
jika tidak dikelola dengan baik pun akan menghasilkan Kemarahan Alam.
Iktibar
Belajarlah dengan semangat avatar, balajar dari kegagalan dan kesuksesan
orang lain, Kenali potensi dan saatnya menjadi pengendali keempat elemen.