Minggu, 25 September 2011

Beda Cinta Dan Pernikahan Menurut Plato




Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, "Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?. Gurunya menjawab, "Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta".

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun. Gurunya bertanya, "Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?". Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwasanya ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya". Gurunya kemudian menjawab "Ya itulah cinta".

Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, "Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?". Gurunya pun menjawab "Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan".

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar / subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja. Gurunya bertanya, "Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?". Plato pun menjawab, "sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya". Gurunya pun kemudian menjawab, "Dan ya itulah perkawinan".

SEMUA TERJADI KARNA SUATU ALASAN



Semua dimulai dari impianku. Aku ingin menjadi astronot. Aku ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang tepat. Aku tidak memiliki gelar. Dan aku bukan seorang pilot. Namun, sesuatu pun terjadilah.
Gedung Putih mengumumkan mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang-alik Challanger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan aku seorang guru. Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington. Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo NASA. Doaku terkabulkan. Aku lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi padaku.
Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center .
Dari 43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi , latihan ketangkasan , percobaan mabuk udara. Siapakah di antara kami yang bisa melewati ujian akhir ini ?
Tuhan, biarlah diriku yang terpilih, begitu aku berdoa. Lalu tibalah berita yang menghancurkan itu. NASA memilih orang lain yaitu Christina McAufliffe. Aku kalah. Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku. Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku?
Bagian diriku yang mana yang kurang?Mengapa aku diperlakukan kejam ?
Aku berpaling pada ayahku. Katanya: “Semua terjadi karena suatu alasan.”
Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran Challanger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tujuh puluh tiga detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challanger meledak, dan menewaskan semua penumpang.
Aku teringat kata-kata ayahku: “Semua terjadi karena suatu alasan.” Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walaupun aku sangat menginginkannya karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memiliki misi lain dalam hidup. Aku tidak kalah; aku seorang pemenang….
Aku menang karena aku telah kalah. Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan.
Tuhan mengabulkan doa kita dengan 3 cara:
1.      Apabila Tuhan mengatakan YA. Maka kita akan mendapatkan apa yang kita minta.
2.      Apabila Tuhan mengatakan TIDAK. Maka mungkin kita akan mendapatkan yang lain yang lebih sesuai untuk kita.
3.       Apabila Tuhan mengatakan TUNGGU. Maka mungkin kita akan mendapatkan yang terbaik sesuai dengan kehendakNYA.

ANTARA KETETAPAN TUHAN DAN KEHENDAK BEBAS MANUSIA


ANTARA KETETAPAN TUHAN DAN KEHENDAK BEBAS MANUSIA
Oleh : Saiful Amiq (Ketum HMI Kom. Syari’ah 2010-2011)

Manusia merupakan puncak dari penciptaan Tuhan dan mahluk-Nya yang paling sempurna. Untuk itu manusia mengemban amanah sebagai khalifah dimuka bumi untuk mengelolanya. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala aktifitas yang ia lakukan dimyuka bumi.
Secara asasi manusia merupakan mahluk merdeka. Merdeka dalam artian ia bebas melakukan pilihan-pilihan terhadap segala hal yang kemudian akan ia pertanggungjawabkan. Karena indifidu adalah penanggungjawab mutlak atas perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi adalah haknya yang asasi. Adalah suatu hal yang aneh ketika manusia diharuskan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya atas dasar paksaan, bukan karena kehendak bebasnya.
Dalam Islam (Rukun Iman) mengenal adanya konsep Qadha dan Qadar (Takdir Ilahi). Seringkali konsep ini dipahami bahwa segala hal yang berkaitan dengan manusia adalah hak perogratif Tuhan dan telah ditentukan sebelumnya, termasuk didalamnya segala perbuatan manusia, rizki, jodoh, bahkan permasalahan apakah ia penghuni surga atau neraka.
Jika demikian maka kemerdekaan manusia telah dinafikan, maka untuk apa lagi manusia harus berikhtiar. Dan pantaskah mahluk yang tidak memiliki kemerdekaan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dilakukan atas dasar ”keterpaksaan”..?? lalu dimana letak keadilan Tuhan..?
Kata Qadha dan Qadar secara lughawi memiliki beberapa pengertian, diantaranya ; Kata Qadha dapat bermakna ”Hukum/ Keputusan” (Q.S An-Nisaa : 65), Qadha dapat bermakna ”Kehendak” (Q.S Ali Imron : 47). Kata Qadar bermakna ”Ukuran” (Q.S Al-Hijr : 21), Qadar dapat dipahami sebagai ukuran sesuatu/ menjadikan sesuatu pada ukuran tertentu/ menciptakan sesuatu dengan ukurannya yang ditentukan.
Maka yang dimaksud dengan Qadar (Takdir) Ilahi adalah bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu serta telah menentukan/ menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kualitas, kuantitas, ruang dan waktu. Dan hal tersebut dapat terwujud dalam rangkaian sebab-sebab/ syarat. Sedangkan Qadha Ilahi adalah sampainya sesuatu kepada kepastian akan wujudnya setelah terpenuhinya sebab-sebab/ syarat sesuatu tersebut. Berdasarkan pengertian ini maka tahapan Qadar adalah lebih awal daripada tahapan Qadha, dan Qadha ini adalah akibat dari adanya qadar, maka Qadha akan mengalami perbedaan hasil ppada suatu peristiwa yang sama apabila terdapat perbedaan pada proses pemenuhan terhadap Qadar...
Untuk lebih memudahkan dalam memahami, berikut analoginya... :
Air akan membeku apabila didinginkan pada suhu 0o C. Maka untuk menjadikan air tersebut beku (Qadha), maka harus didinginkan pada suhu 0o C (Qadar/ pemenuhan sebab), dan ketika suhu tersebut tidak tercapai maka air tidak akan membeku (Qadha).
Untuk itu sebagai mahluk yang merdeka, manusia bebas menentukan takdir pribadinya melalui jalan berikhtiar melakukan pemenuhan rangkaian sebab-sebab/ syarat terhadap sesuatu yang dikehendakinya. Dan hasil dari Ikhtiar inilah yang kemudian di sebut sebagai Takdir.
Sekalipun kebebasan merupakan esensi dari Manusia, namun bukan berarti ia merdeka atas segala tindakannya. Kebebasan manusia tetap harus tunduk kepada hukum-hukum unifersal Tuhan. Dan hukum-hukum ini tentunya memiliki konsekuensi logis terhadap pelakunya.
Amal perbuatan manusia yang baik ketika didunia akan membawanya menuju surga. Amal perbuatan manusia yang buruk ketika didunia akan membawanya menuju neraka. Kerja keras dan sungguh-sungguh akan membawa manusia kepada keberhasilan, dan sebaliknya.
Setiap kegagalan yang dialami manusia, bukanlah berarti bahwa Tuhan telah mentakdirkan ia untuk gagal, namun kurang sempurnanya ikhtiar yang ia lakukanlah yang membawanya kepada kegagalan. Karena Tuhan tidak memutuskan takdir manusia berdasarkan kehendak mutlanya, namun Tuhan memutuskan takdir manusia berdasarkan sejauhmana manusia melakukan Ikhtiar untuk Takdir yang diinginkannya.
”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum hingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S Ar Rad : 11)

BELAJAR DARI KISAH AVATAR


BELAJAR DARI KISAH AVATAR
By : Qamarullah, S.H.I

Avatar adalah seseorang yang telah lama menghilang dan sangat diharapkan kedatangannya oleh masyarakat dalam legenda cina,  mirip dengan kisah Mahdi yang dinantikan oleh manusia tapi tulisan ini tidak akan menyamakan atau membanding bandingkan keduanya sebab  Avatar hanyalah legenda yang belum jelas nashnya selain sebuah cerita disalah satu stasiun TV swasta, namun ada beberapa pelajaran menarik yang dapat di urai dalam perjalanan cerita Avatar tersebut.

Pertama, Avatar yang bernama Aang sebagai sosok yang dirindukan ternyata belum menguasai empat elemen ( air, api, udara, dan bumi ) sebagai senjata untuk menyelamatkan dunia, lalu apa yang di lakukannya? sang Avatar mengembara untuk mencari seorang Guru yang mampu mengajarinya “pengendalian” keempat elemen tersebut, tidak perduli utara selatan barat maupun timur jika ada berita sang pengendali tinggal disana maka ia pun terbang dengan bison kesayangannya untuk belajar, legenda ini mirip dengan Imam Ahmad bin Hambal yang selalu mencari Perawi Hadis sampai ke orang pertama untuk meyakinkan tentang keshohihan hadis yang beliau dengar. Apa hikmah dibalik ini semua ternyata sang legenda yang diramalkan mampu menyelamatkan dunia saja masih mau belajar dan tanpa berputus asa mencari guru bagaimana mungkin kita yang bukan apa-apa tidak mau belajar bahkan kesulitan mencari seorang gurupun tidak ditemui untuk saat ini, guru formal misalnya sudah ada didalam kelas tapi kita malah sibuk mencari alasan untuk tidak masuk kelas atau kampus bahkan dengan congkaknya mengusir sang guru dengan alas an kurang berbobot atau tidak berkualitas padahal sang guru telah mengalami perjalanan pencarian ilmu lebih banyak daripada dia tapi keegoisan diri serta kesombongan hati telah menutup realitas bahwa dia pun tidak bias apa- apa selain sibuk mengkritik.

Kedua, Keempat Elemen yang ingin di pelajari oleh Avatar ternyata merupakan Refleksi Sifat Manusia, jika Avatar ingin menguasainya dan berharap mampu menjadi pengendali maka kita pun harus demikian, saatnya kita menjadi pengendali Air yang melambangkan sifat ketenangan, kejujuran, saat tidak mampu dikendalikan maka Air bisa menghancurkan dan menenggelamkan apa saja yang dilaluinya, pengendali Api melambangkan pengendalian terhadap amarah sehingga kita dituntut untuk sabar, tegas dan berwibawa namun seperti Air, Apipun jika tidak di kendalikan dapat menghadirkan bencana kebakaran serta kerusakan lainnya. Pengendalian Angin menghadirkan kesejukkan dan ketawadhuan namun ketika tidak di kendalikan pun dapat berimplikasi negative, begitu juga dengan Bumi yang melambangkan kemakmuran jika tidak dikelola dengan baik pun akan menghasilkan Kemarahan Alam.

Iktibar
Belajarlah dengan semangat avatar, balajar dari kegagalan dan kesuksesan orang lain, Kenali potensi dan saatnya menjadi pengendali keempat elemen.
Multum in Farvo.